Langsung ke konten utama

PENDAPAT ULAMA TENTANG PAJAK


PENDAPAT ULAMA TENTANG PAJAK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Di dalam sistem ekonomi mana pun, sumber utama penghasilan bagi negara adalah pemajakan. Pajak adalah bayaran yang semestinya dibayarkan kepada pihak otoritas legislasi sebagai akibat pemasukan atau keuntungan yang didapatkan oleh warga negara atau perusahaan di negara tersebut. Pajak dikenakan oleh sebagian besar negara di dunia, entah secara langsung melalui pemasukan atau keuntungan yang dihasilkan (seperti pajak penghasilan) atau secara tidak langsung melalui konsumsi atau transaksi (seperti pajak Penjualan). Walaupun Syariah mempunyai bentuk-bentuk pajak yang spesifik, seperti zakat (pajak kekayaan), ushr (pajak hasil pertanian), dan kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak orang dewasa), dan khums(pajak atas hasil sumber daya alam), namun di massyarakat majemuk, pajak masih merupakan bayaran wajib yang dikenakan oleh negara. Karena banyak negara mengenakan pajak, selain zakat, untuk mendanai pengeluaran publik pemerintah, pajak merupakan biaya yang hampir pasti harus ditanggung; biarpun pembiayaan dilakukan secara konvensional ataupun bila pembiayaan tersebut memeatuhi hukum Islam.
Pajak memang selalu ada kaitannya dengan kehidupan karena memang pajak ini merupakan sebuah iuran wajib yang diberikan kepada rakyat kepada negara tanpa rakyat tersebut berhak untuk menerima imbalan apapun atas apa yang diberikan. Didalam Islam sendiri dalam pembayaran pajak sesuai dengan apa yang disampaikan banyak ulama – ulama. Dan pada kali ini kami akan berikan untuk pembaca tentang informasi lengkapnya mengenai pendapat ulama tentang pajak didalam Islam.
Ada beberapa pendapat yang dilontarkan ulama tentang pajak. Bahkan para ulama juga memiliki perbedaan sikap dan perbedaan pandangan tentang pajak. Mungkin Anda ingin tahu apa saja pendapat ulama tentang pajak didalam Islam?

B.     Rumusan Masalah
Dari uaraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang ingin disampaikan dalam penulisan ini adalah Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Pajak Dalam Hukum Islam?

C.     Tujuan
Untuk mengetahui Pendapat Ulama tentang Pajak Dalam Hukum Islam



BAB II
PEMBAHASAN
PENDAPAT ULAMA TENTANG PAJAK
A.    Pendapat yang Menyatakan Bahwa tidak ada Kewajiban Lain Harta Selain Pajak
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum Muslimin atas harta. Barangsiapa yang telah berzakat, maka bersilah hartanya dan bebaslah kewajibanya. Dia pun tidak punya kewajiban lagi, bila zakat telah ditunaikan, kecuali bila dia hendak bersedekah sunnah. Karena mengharap pahala yang lebih besar dari Allah SWT. Inilah pendapat termasyhur di kalangan para ahli fikih pada periode muta’akhirin, sehingga hamper mengenal pendapat yang lain. Hadis-hadis yang dijadikan dalil adalah hadis yagn bersumber dari para sahabar seperti Thalhah r.a. Abu Hurairah, dan lain-lain sebagai berikut:

Hadis
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد. ثائر الرأس. نسمع دوي صوته ولا نفقه ما يقول. حتى دنا من رسول الله صلى الله عليه وسلم. فإذا هو يسأل عن الإسلام. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "خمس صلوات في اليوم والليلة" فقال: هل علي غيرهن؟ قال "لا. إلا أن تطوع. وصيام شهر رمضان" فقال: هل علي غيره؟ فقال "لا. إلا أن تطوع" وذكر له رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة. فقال: هل علي غيرها؟ قال" لا. إلا أن تطوع" قال، فأدبر الرجل وهو يقول: والله! لا أزيد على هذا ولا أنقص منه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "أفلح إن صدق".

1.      Hadis Riwayat Bukhari-Muslim dari Thalhah ra., ia berkata : Seorang dari penduduk Najd dengan rambut kusut datang menemui Rasulullah saw. Kami mendengar gaung suaranya tetapi kami tidak paham apa yang dikatakannya. Dia mendekati Rasulullah saw. dan bertanya tentang Islam. Rasulullah saw. bersabda, (Islam itu adalah) salat lima kali sehari semalam. Orang itu bertanya, Adakah salat lain yang wajib atasku ؟ Rasulullah saw. menjawab, Tidak, kecuali jika kamu ingin melakukan salat sunah. Kemudian Rasulullah bersabda, (Islam itu juga) puasa pada bulan Ramadan. Orang itu bertanya, Adakah puasa lain yang wajib atasku ؟ Rasulullah saw. menjawab, Tidak, kecuali jika kamu ingin melakukan puasa sunah. Rasulullah saw. melanjutkan, (Islam itu juga) zakat. Orang itupun bertanya, Adakah zakat lain yang wajib atasku ؟ Rasulullah saw. menjawab, Tidak, kecuali jika kamu ingin bersedekah. Kemudian lelaki itu pergi sambil berkata, Demi Allah, aku tidak akan menambahkan kewajiban ini dan tidak akan menguranginya. Setelah mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda, Dia termasuk orang yang beruntung jika benar apa yang diucapkannya.
2.      Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah ra. Dikatakan : Bahwa seorang arab dusun datang kepada Rasulullah saw. Ia berkata: “Tunjukkanlah padaku suatu amal yang memasukkan aku kedalam surga.” Nabi Saw berkata : “Beribadalah kepada Allah Swt. dan jangan berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, Dirikanlah sholat fardhu, tunaikan zakat, dan berpuasalah bulan Ramadhan.” Orang itu berkata : “Demi yang menguasai diriku, aku takkan menambahnya.” Kemudian Rasulullah berkata : “Ingin melihat ahli surge, lihatlah orang ini.” (HR. Bukhari

Dalam hadis-hadis diatas disebutkan bahwa, yang wajib ditunaikan atas harta adalah zakat saja, semua pemberian apa saja di samping zakat, termasuk kelompok sedekah yang derajatnya adalah nafil (sunnah). Inilah landasan yang dijadikan dalil oleh mayoritas ulama, untuk menyatakan bahwa kewajiban kaum muslim atas harta hanyalah zakat. Mengenal adanya nash yang menetapkan adanya kewajiban atas harta selain zakat, mereka menyatakan bahwa yang dimaksud oleh nash tersebut ialah anjuran (sunnah), bukan wajib, seperti kewajiban terhadap tamu.[1]


B.     Pendapat Lain Bahwa Ada Kewajiban Lain Atas Harta Kaum Muslim Selain Zakat
Ada kaum Muslim lain yang sejak zaman sahabat sampai tabi’in yang berpendapat, bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Pendapat tersebu datang dari Umar, Ali, Abu Dzar, A’isyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Hasan bin Ali dan Fatimah binti Qais dari kalangan Sahabat ra. Pendapat itu disahkan oleh sya’bi, Mujahid, Thawus, ‘Atha, dan lain-lain dari kalangan tabi’in. Dalil-dalil yang mereka kemukakan, Antara lain:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah[2]:177)
Ayat ini menurut mereka merupakan alasan yagn kuat, sebagai dalil mengenai adanya kewajiban atas harta selain zakat. Ayat itu telah menjadikan pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin, musyaffir dan seterusnya, sebagai pokok dan unsur kebaikan.

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al- An’am [6]: 141)
Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, tatkala ditanya : “Apakah hak yang diwajibkan pada ayat tersebut (QS. Al-An’am[6]:141)?” beliau menjawab, Ya! Itulah kewajiban diluar zakat, yaitu sesuatu yang harus diberikan oleh pemilik hasil panen serelanya di waktu panen, tapi jumlahnya tidak dibatasi.
Ibnu Hazm mengatakan:
Apabila dana zakat tidak mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan orang-orang miskin dalam suatu daerah atau negara, maka menjadi tanggung jawab warga yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apabila mereka tidka melakukan itu, maka mereka berdosa. Penguasa berhak untuk menghukum mereka. Inilah yang tidak diragukan, yang diambil dari makna dan tujuan Al-Qur’an.

C.  Pendapat Ulama tentang Adanya Kewajiban Lain Atas Harta Selain Zakat

Banyak para ulama yang berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta selain zakat, antara lain:
1.      Qadhi Abu Bakr bin Al- Arabi seorang ahli fikih golongan Maliki, berkata dalam Ahkam Al-Qur’an bahwa:
Pada harta tak ada kewajiban selainzakat. Apabila telah diselesaikan, kemudian sesudah itu datang kebutuhan mendesak, maka wajib bagi orang kaya mengeluarkan hartanya untuk keperluan tersebut.[2]
2.      Imam Maliki dalam Ahkam Al-Qur’an berkata:
Wajib kepada seluruh kaum muslimin menebus para tawanan mereka, meskipun harta mereka akan habis larenaya. Demikian pula apabila pemerintah menolak membagikan zakat kepada para mustahik setelah dilakukan pemungutan, apakah orang kaya wajib membantu orang miskin. Sudah barang tentu masalah demikian perlu dipikirkan. Menurut pendapat saya, yang paling tepat ialah, wajib menolong .
3.      Imam Qurtubi dalam tafsir al-Qurtubi, memperkuat pendapat Imam Malik. Ia berkata:
Para ulama sependapat bila datang satu kebutuhan mendesak kepada kaum muslimin-setelah membayar zakat-maka wajib kepada mereka yang kaya mengeluarkan hartanya untuk menanggulangi keperluan tersebut.[3]
4.      Imam Syatibi dalam al-I’tishamberkata:
Apabila harta kosong, kemudian biaya militer meningkat, maka imam-bila ia adil-hendaklah membebankan biaya itu kepada mereka yang kaya sekira dapat mencukupi keperluan tersebut, sehingga Bitul Mal tersisi kembali.[4]
5.      Ibnu Taimiyah dalam al-kabir, waktu menafsirkan kalimat
“Tidak ada hak dalam harta selain zakat,” berkata:
Bagi seseorang tidak ada hak yang wajib ditunaikan karena adanya harta selain zakat. Oleh karena itu, ia punya kewajiban yang bukan disebabka oleh adanya harta, seperti kewajiban memberi nafkah kepada kerabat dekat, isteri, hamba sahaya dan hewan ternak, juga wajib menanggung orang yang kena denda (diat), ikut membantu orang yang berutang dan orang yang ditimpa musibah. Dan wajib juga memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakain mereka yang tidak punya pakaian dan kewajiban lain yang bersifat materi yang disebabkan adanya sesuatu sebab. Bagi orang yang wajib naik haji, harta merupakan syarat utama, sedangkan badan sebab utama dan kesanggupan menjadi syarat. Harta dalam zakat merupakan sebab, maka wajib zakat bila ada harta sehingga bila di negerinya tidak ada mustahilnya, hendaklah dipindahkan ketempat lain, karena zakat adalah hak yang diwajibkan Allah Swt.[5]
6.      Mahmud Syakut dalam Al-Fatwa berkata:
Apabila pemerintah atau pemimpin rakyat tidak mendapat dana untuk menunjang kemaslahatan umum, seperti pembangunan saran pendidikan, balai pengobatan, perbaikan jalan dan saluran air, serta mendirikan industri alat pertahanan negara, sedang kaum hartawan masih diam membelenggu tangannya, maka bolehlah dan adakalanya wajib bagi pemerintah, untuk memungut pajak dari kaum hartawan, untuk meringankan pelaksanaan rencana pembangunan itu.
Semua pendapat dari para ahli fikih yang menegaskan bahwa tak ada hak lain di luar zakat, ternyata mereka sengaja menolaknya, karena khawatir penguatan tersebut hanyalah alat untuk keuntungan diri mereka sendiri dan pengikutnya. Hal itu merupakan beban berat bagi rakyatnya. Para ulama takut kalau-kalau pemerintah yang zalim menjadikan kata-kata ulama itu sebagai dalilh untuk mewajibkan pungutan dan pajak-pajak yang memberatkan tanpa hak. Oleh karena itu, para ulama menutup pintu rapat-rapat dan memotong jalan mereka dengan kata-katanya: “Tidak ada hak dalam harta di luar zakat.”
Pentakwilan hadis “tidak ada hak pada harta selain zakat”, kecuali sedekah sunnah, yusuf Qardhawi, berpendapat hal itu benar, dengan catatan bahwa zakat itu adalah kewajiban rutin yang kadarnya telah ditentukan, dan wajib kepda setiap orang secara terus-menerus, sebagai tanda syukur atas segala nikmat Allah, dan untuk menyucikan diri dan harta. Hak zakat itu mesti tetap digunakan meskipun tida lagi terdapat orang miskin, yang perlu ditolong atau tidak ada keperluan yang perlu ditanggulangi. Seorang Muslim yang memiliki harta senisab, dalam keadaan biasa tidak diminta membayar membayar sesuatu kecuali zakat. Apabila ia telah menunaikan zakat itu, maka bersilah ia dari kewajibannya, dan telah dibuang kotoran dari hartanya itu. Ia pun tidak punya kewajiban lain, kecuali kalau ia mau sedekah sunnah.
Adapun hak-hak yang tidak tetap (selain zakat-pen), datang sewaktu-waktu dan kadarnya tidak ditentukan seperti pajak, ia tergantung dari keadaan dan kebutuhan dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan zaman, lingkungan, dan kebutuhan. Jadi, kewajibannya muncul bukan karena ada nya harta, namun karena kewajiban untuk membantu orang lain dan mencukupi kebutuhan negara bagi yang kaya dalam keadaan Baitu Mal kosong atau tidak mencukupi. Kewajiban ini tidak terus-menerus, biasa dihapuskan, bila keadaan Baitul Mal sudah terisi kembali.

D.  Jalan Tengah dari Kedua Pendapat

Dari uraian di atas, tampak adanya dua pendapat yang berlawanan antara kelompok yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban lain atas atas harta selain zakat dan kelompok yang berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta selain zakat. Yusuf Qardhawi[6] pun mengakui bahwa memang terdapat perbedaan pendapat yang tajam antara keduanya yang masing-masing memiliki dalil serta argumen yang kuat. Sungguhpun demikian, Qardhawi mengatakan bahwa kedua pendapat itu sebenarnya terdapat titik persamaan yang sama-sama mereka setujui, yaitu:
1.      Bahwa ada hak orang tua yang membutuhkan, punya hak atas anaknya yang mampu.
2.      Pada dasarnya kerabat punya hak atas nafkah kerabatnya yang lain yang mampu (kaya)
3.      Adanya hak atas orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat)harus memperoleh makanan, pakaian atau tempat tinggal, mengenai perlunya diberi bantuan atas kelompok ini, tidak diperselisihkan lagi.
Para ulama tidak menentang bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dahribah) .
Ibnu Taimiyah mendukung kuat diterapkannya dharibah atau pajak tambahan dan mengemukakan sintesis yang yang menarik dari dua hadis yang tampak berlawanan tersebut. Ia mengatakan bahwa:
Tidak ada pertentangan dalam dua hadis ini., karena zakat dan kewajiban lain selain zakat disebabkan disebabkan oleh kekayaan seseorang memiliki alasan yang berbeda. Alasan ditetapkannya zakat adalah kepemilikan kekayaan yang memiliki batas yang maksimum. Karena itu, tidak dibenarkan menetapka pajak tambahan dengan alsan memiliki kekayaan selain zakat. Sementara alasan penetapan pajak tambahan (dharibah) bukan sekedar penguasaan kekayaan di atas batas minimum, tetapi munculnya kebutuhan dalam masyarakat.[7]


E.   Ulama yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Boleh

Untuk memenuhi kebutuhan negara akan berbagai hal, seperti mengagulangi kemiskinan, menggaji tentara, dan lain-lain yang tidak terpenuhi dari zakat dan sedekah, maka terus muncul alternatif sumber baru. Dalam bab 7 tentang kebijaksanan fiskal telah diuraikan, bahwa pilihan itu ada dua, yaitu pajak atau utang. Selam utang mengandung konsekuensi riba, maka pajak adalah pilihan yang lebih baik dan utama.
Pilihan kewajiabn pajak ini sebagai solusi, telah melahirkan perdebatan di kalangan para fuqaha dan ekonomi Islam, ada yang menyakan pajak itu boleh dan sebaliknya. Sejumlah fuqaha dan ekonomi Islam yang menyatakan bahwa pemungutan pajak itu diperbolehkan, antara lain:
1.      Abu Yusuf, dalam kitabnya al-Kharaj, menyebutkan bahwa:
Semua Khulafaurrasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari.[8] Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbaru.[9]
2.      Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, dengan cara yang sangat bagus merefleksikan arus pemikiran para sarjana Muslim yang hidup pada zamannya berkenan dengan distribusi beban pajak yang merata dengan mengutipmsubuah surat dari Thahir Bin Husain kepada anak yang menjadi seorang gubernur di salah satu provinsi.
Oleh karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan keadilan dan pemerataan, perlakukan semua orang sama dan jangan memberi perkecualian kepada siapa  pun karena kedudukannya di masyarakat atau kekayaan, dan jangan mengecualikan kepada siapapun sekalipun dia adalah petugasmu sendiri atau kawan akrabmu atau pengikutmu. Dan jangan kamu menarik pajak dari orang melebihi kemampuan membayarnya.[10]
3.      Marghinani dalam kitabnyan al-Hidayah, berpendapat bahwa:
Jika sumber-sumber daya negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu memang dinikmati rakya, kewajiban mereka membayar ongkosnya.[11]
4.      M. Umer Chapra, dalam Islam and The Economic Challenge menyatakan:
Hak negara Islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat pajak di samping zakat telah dipertahankan oleh sejumla fuqaha yang pada prinsipnya telah mewakili semua mazhab fikih. Hal ini disebabkan karena dana zakatdipergunakan pada prinsipnya untuk kesejahteraan kaum miskin padahalnegara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif. Hak ini dibela para fuqaha berdasarkan hadis: “pada hartamu ada kewajiban lain selain zakat.[12]
5.      Hasanah al-Banna, dalam bukunya majmuatur-Rasa’il, mengatakan:
Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka sistem perpajakan progresif tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran Islam.[13]
6.      Ibnu taimiyah, dalam majmuatul fatawa, mengatakan:
Larangan penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil berdasarkan argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan mengakibat beban yang akan lebih besar bagi kelompok lain.[14]
7.      Abdul Qadim Zallum, dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, mengatakan:
Berabagai pos pengeluaran yang tidak tercukupi oleh Baitul Mal adalah menjadi kewajiban kaum muslimin. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudaratan untuk kaum muslimin, padahal Allah juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum muslimin. Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum muslimin untuk membayar pajak, hanya untuk menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebih.[15]
8.      Sayyid Rasyid Ridha, yang pernah ditanya mengenai pungutan orang Nasrani (inggris) di India terdapat tanah, ada yang separo dan ada yang seperempat dari tanah tersebut. Bolehkah hal itu dianggap sebagai kewajiban zakat, seperti 1/10 atau 1/20? Beliau menjawab:
Sesunggunya yang wajib dari 1/10 atau 1/20 atu dari hasil bumi adalah harta zakat yang wajib dikeluarkanpada delapan sesaran (delapan asnaf) menurut nash. Apabila dipungut oleh Amil dari Imam dari negara Islam, maka bebaslah pemilik tannah itu dari kewajibannya dan iama atau Amilnya wajib membagikan zakat itu kepada mustahiknya. Apabila tidak dipungut oleh Amil, maka wajib kepada pemilik harta untuk mengeluarkannya, sesuai dengan perintah Allah. Harta yang dipungut oleh Nasrani tadi, dianggap sebagai pajak dan tidak menggugurkan kewajiban zakat. Orang itu tetap mengeluarka zakat”. Hal ini berarti, bahwa pajak tidak dapat dianggap sebagai zakat.[16]


F.   Ulama yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Haram

Disamping sejumlah fuqaha menyatakan pajak itu boleh dipungut, sebagian lagi mempertanyakan (menolak) hak negara untuk meningkatkan sumber-sumber daya melalui pajak, disamping zaka, antara lain:
D R. Hasan Turobi dari Sudan, dalam bukunya princlip of govermance,freedom, and responsibility in Islam menyatakan:
Pemerinta yang ada di Dunia Muslim dalam sejarah yang begitu lama “pada umunya tidak sah”. Karena itu, para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik pajak akan disalah gunakan dan menjadi suatu alat penindas.

G.  Alasan-alasan Ulama Membolehkan Pajak

      1.  Zallum berpendapat.[17]
“anggaran belanja saat ini sangat berat dan besar, setelah meluasnya tanggung jawab (Ulil Ari – Pen) dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi. Kadang kala pendapatan umum yang merupakan hak Batul Mal seperti fay’i, jizyah, kharaj, ‘ushr, dan Khumus tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seprti yang pernah terjadi dimasa lalu, yaitu masa Rasulullah, masa Khulafaurrasyidin, masa Muawiyah, masa Abasyiah, sampai masa Ustmaniyah, dimana sarana kehidupan semakin bekembang. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cara lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan Baitl Mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak.”
2.      maliki Berpendapat.[18]
“karena menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan adalah wajib, sedangka kas negara tidak mencukupi (buktinya masih berutang), maka pajak itu menjadi “wajib”. Walaupun demikian, Syara’ mengharamkan negara menguasai harta benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya dengan menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti itu merampas, sedangkan merampas hukunya haram.”
3.      Umer Chapra berpendapat.[19]
Sungguh tidak realistis bila sumber perpajakan (pendapatan-pen) negara-negara Muslim saat ini terbatas hanya pada lahan pajak (pos-pos penerimaan) yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan (mereka-pen)perlu melengkapi sistem pajak (baru) dengan meyertakan  realitas perubahan, terutama kebutuhan masal terhadapinfrastruktur sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan perekonomian yang modrn yang efisien serta komitmen untuk merealisasikan maqashid dalam konteks hari ini.sambil melengkapi sistem pajak, kita perlu memikirkan bahwa sistem tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga harus menghasilkan, tanpa berdampak buruk pada dorongan untuk bekerja, tabungan dan investasi, serta penerimaan yang memadai sehingga memungkinkan negara Islam melaksanakan tanggung jawabnya secara kolektif.”

H.  Pajak Dibolehkan Karena Kemaslahatan Umat
Jika kita ikuti pendapat ulama yang membolehkan, maka pajak saat ini memang merupakan sudah menjadi kewajiban warga negara dalam sebuah negara Muslim, dengan alasan dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “Pengeluaran”, yang mana jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan. Sedangkan mencegah suatu kemudharatan adalah juga kewajiban, sebagaimana kaidah ushul fiqh mengatakan:

ما لايتم الواجب إلا به فهو واجب
“Segala sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan demi terlaksananya kewajiban selain harus dengannya, maka sesuatu itu pun wajib hukumnya”

Oleh karena itu, pajak itu tidak boleh dipungut dengan carapaksa dan kekuasaan semata, melainkan karena kewajiban kaum muslimin yang dipikulkan kepada negara, seperti memberi rasa aman, pengobatan dan pendidikan dengan pengeluaran seperti nafkah untuk para tentara, gaji para pegawai, guru, hakim dan sejenisnya, atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba seperti kelaparan, banjir, gempa bumi, dan sejenisnya.
Mereka ini wajib memberi nafkah, baik di Baitul Mal ada harta ataupun tidak. Bahkan, jika dikhawatirkan timbul bahaya sejak menunggu diwajibkannya pajak sehingga diperoleh harta, maka negara wajib mengambil utang untuk diinfaqkan kepada mereka yang dikhawatirkan tertimpa bahaya. Negara berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan primer bagi rakyatnya secara keseluruhan secara langsung.

Oleh sebab itu, pajak memang merupakan kewajiban warga negara dalam sebuah negara Islam, tetapi negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat):
1.    Penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untul merealisasikan tujuan-tujuan pajak;
2.    Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayarnya,
Selama para pembayar pajak itu tidak memiliki jaminan bahwa dana yang mereka sediakan kepada pemerintah akan dipergunakan secara jujur dan efektif untuk mewujudkan maqadhid (tujuan Syariah), mereka tidak akan bersedia sepenuhnya bekerja sama dengan pemerintah dalam usaha pengumpulan pajak dengan mengabaikan pajak dengan mengabaikan beberapa kewajiban moral untuk membayar pajak.[20]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya pajak tidak dibolehkan dalam Islam karena terdapat ayat dan hadis yang melarang. Namun dalam kondisi tertentu dan dengan syarat tertentu pajak dibolehkan atas dasar pengecualian hukum.
Ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama mengenai pajak. Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa pungutan pajak itu halal.
Apapun Pendapatnya, selama itu masih di jalan kebaikan, tidak merugikan orang lain, dan untuk kemaslahatan umat, sah- sah saja Pajak diwajibkan oleh suatu negara. Karena perbedaan pendapat adalah rahmat.




[1] Pajak Menurut Syariah Hal 145-147
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[20] Ibid, Hal 148-162

Komentar